Jumat, 31 Oktober 2014

Apa yang Kau Cari?

Sesuatu yang dicari sudahlah tentu sesuatu yang penting dan bisa jadi mendesak yang jika tidak ketemu dapat berpengaruh untuk sang pencari. Seperti seseorang yang mencari sepatunya yang hilang saat berselancar di warnet, tentu dia akan kebingungan dan berusaha mencari sepatunya yang hilang itu, dan jika tidak ketemu tentu saja dia merasakan ketidaknyamanan dalam hatinya, selain itu setidaknya diapun harus berjalan tanpa alas kaki untuk sekedar membeli sandal jepit di warung terdekat, atau mungkin jika dia tidak punya uang, dia harus berjalan sepanjang jalan dari warnet sampai rumahnya. Contoh lain, seseorang pekerja serabutan yang mencari uang hanya untuk sekedar dibelikan makan esok harinya, jika uang yang dicarinya ia dapatkan tentu esok hari peeutnya tidak bersuara nyaring mencari pengganjal, namun jika ia tak menemukan uang yang dicarinya, pastilah esok hari ia akan kelaparan dan bisa jadi jatuh sakit.
Itulah yang disebut mencari, akan ada konsekuensi untuk sang pencari bila yang dicarinya tidak dia dapatkan atau tidak dia temukan.

Hidup mencari kebahagiaan
Pada hakekatnya baik diakui atau tidak, setiap manusia mencari kebahagiaan dalam hidupnya. menurut Kamus Bsar Bahasa Indonesia ba·ha·gia mempunyai arti keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dr segala yg menyusahkan), sedangkan ke·ba·ha·gi·a·an berarti kesenangan dan ketenteraman hidup (lahir batin); keberuntungan; kemujuran yg bersifat lahir batin. dalam pengertian tersebut, bahagia sangat berkaitan dengan ketentraman hidup.[1] Lalu, bagaimanakah usaha manusia guna memperoleh kebahagian?.
Manusia sesungguhnya menggunakan setiap tenaga dan waktunya untuk mencari kebahagiaan, cara yang dilakukannya pun beraneka ragam. Harta, Tahta, Popularitas, Wanita/Pria dianggap sebagai sumber kebahagiaan, sehingga tidak sedikit manusia bekerja keras banting tulang untuk mendapatkan yang mereka sebut sebagai sumber kebahagiaan tersebut, namun tidak sedikit pula dari mereka yang sudah mendapatkannya tidak merasa bahagia, tak seperti apa yang mereka bayangkan sebelumnya. Yang lebih parah lagi, saat itu semua hilang, mereka malah stress. Sebetulnya itu semua hanyalah alat untuk menggapai kebahagiaan hakiki.

Kebahagiaan Hakiki
Kebahagiaan hakiki tentulah kebahagiaan yang bersifat kontinyu dan terus menerus, tidak akan berkurang kadarnya meskipun diterpa ujian dan cobaan. Alloh sebagai pencipta tentu saja lebih tahu bagaimana memberi kebahagiaan kepada manusia, bukan manusia itu sendiri yang mengira-ngira bagaimana mendapatkan kebahagiaan. Maka hanya maunsia yang senantiasa mentaati dan mengikuti petunjuk yang Alloh berikanlah yang dapat memperoleh kebahagiaan. Dalam Al-Quran Alloh berfirman:

"(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik." (QS. Ar-Ra'd:28-29)

Kebahagian ini bukanlah kebahagiaan yang bersifat sementara, bukan kesenangan semu dan bukanlah bersumber dari hawa nafsu. Kebahagiaan disini ialah kebahagiaan yang menentramkan hati saat di dunia, dan tempat kembali yang baik di akhirat kelak, yaitu surga. Orang yang beriman dan beramal saleh dengan mengingat Alloh yang mendapat kebahagiaan seperti ini. Dengan mengingat Alloh, setiap langkah hidupnya akan merasa selalu terawasi, sehingga  dalam menjalani hidup akan selalu berada dijalan Alloh, menjalankan yang diperintahkan-Nya dan menjauhi larangan-Nya guna mencapai derajat ketakwaan dan keridhoan Alloh. Tidak akan ada perasaan gelisah, was-was dalam menjalani hidup, karena dunia bukanlah prioritasnya.

Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan mengerjakan amal saleh, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai (Islam). Dan Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun. Tetapi barang siapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS. An-Nuur:55)

Sumber kebahagiaan hakiki adalah ridho Alloh, karena dengan keridhoan Alloh lah yang dapat membawa kita menuju kebahagian hakiki yang abadi yaitu surga-Nya.

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS. Al-Bayyinah:7-8)

Manusia seperti itulah sebaik-baik makluk.

Yang Tidak Mendapatkannya...
Tentu saja merugilah orang yang tidak mendapat kebahagiaan tersebut. Bisa jadi yang dianggap kebahagiaan justru membinasakan. Boleh saja manusia merasa senang ketika menapat kekayaan dan berfoya-foya dengannya, namun dapat dipastikan bukanlah kebahagiaan yang dirasakan, tapi hanya kesenangan sesaat yang semu. Lebih parah lagi di akhirat akan mendapat azab, dan sekali-kali apapun yang diusahakan di dunia untuk hawa nafsunya tak akan dibawanya ke akhirat kelak, apalagi menolongnya. Hanya penyesalan yang dirasakan. Naudzubillahi minzalik,

Dan harta kekayaannya dibinasakan, lalu ia membulak-balikkan kedua tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang ia telah belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur itu roboh bersama para-paranya dan dia berkata: "Aduhai kiranya dulu aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku". (QS. Al-Kahfi : 42)


Semoga apa yang kita cari dalam hidup ini yaitu kebahagian hakiki dapat kita dapatkan, aamiin...... 

"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." (QS: Al-Qashash : 77)

Sabtu, 25 Oktober 2014

Tahun Hijriyah yang Terlupakan

Tanggal 25 Oktober 2014 ini merupakan hari dimana tahun hijriyah berganti menjadi tahun 1436 Hijriyah, lebih tepatnya pergantian tahun ini terjadi kemain sore pada waktu matahari terbenam. Tidak seperti ketika datang Tahun Baru Masehi yang disambut dengan penuh semarak oleh masyarakat, Tahun Baru Hijriyah disikapi oleh kaum Muslim dengan ‘dingin-dingin’ saja. Memang, Tahun Baru Hijriyah tidak perlu disambut dengan kemeriahan pesta. Namun demikian, sangat penting jika Tahun Baru Hijriyah dijadikan sebagai momentum untuk merenungkan kembali kondisi masyarakat kita saat ini. Lalu mengapa Tahun Hijiyah ini begitu penting? ada peristiwa apa yang menandai lahirnya Tahun Hijryah ini?......

Sejarah
Di zaman Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr, kaum muslimin belum mengenal pergantian tahun hijriyah. Sehingga ketika itu, tidak ada istilah tahun baru hijriyah. Mereka menggunakan kalender qamariyah sebagai acuan kegiatan dan pencatatan sejarah. Mengikuti kalender yang sudah digunakan oleh masyarakat arab sejak sebelum islam. Hanya saja, di zaman mereka belum ada angka tahun dan acuan tahun. Angka Tahun sebagai acuan baru ditetapkan oleh Umar bin Khattab 6 tahun setelah Rosululloh wafat. Pada saat itu Umar bin Khattab mengumpulkan kaum muhajirin dan anshar radhiyallahu ‘anhum, beliau bertanya: “Mulai kapan kita menulis tahun.” Kemudian Ali bin Abi Thalib mengusulkan: “Kita tetapkan sejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamhijrah, meninggalkan negeri syirik.” Maksud Ali adalah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Kemudian Umar menetapkan tahun peristiwa terjadinya Hijrah itu sebagai tahun pertama (al-Mustadrak 4287 dan dishahihkan oleh adz-Dzahabi).[1]    
Jadi, penetapan permulaan Tahun Hijriyah ini dilatarbelakangi oleh peristiwa Hijrahnya nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Mekkah ke Yatsrib (Madinah). Seberapa penting peristiwa Hijrah ini? dan pelajaran apa yang dapat kita ambil?......


Makna Hijrah[2]    

Secara bahasa, hijrah berarti berpindah tempat. Adapun secara syar‘i, para fukaha mendefinisikan hijrah sebagai: keluar dari darul kufur menuju Darul Islam. (An-Nabhani, Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, II/276). Darul Islam dalam definisi ini adalah suatu wilayah (negara) yang menerapkan syariat Islam secara total dalam segala aspek kehidupan dan yang keamanannya berada di tangan kaum Muslim.

Sebaliknya, darul kufur adalah wilayah (negara) yang tidak menerapkan syariat Islam dan keamanannya bukan di tangan kaum Muslim, sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam. Definisi hijrah semacam ini diambil dari fakta Hijrah Nabi saw. sendiri dari Makkah (yang saat itu merupakan darul kufur) ke Madinah (yang kemudian menjadi Darul Islam).
Peristiwa Hijrah, paling tidak, memberikan makna sebagai berikut:
Pertama: pemisah antara kebenaran dan kebatilan; antara Islam dan kekufuran; serta antara Darul Islam dan darul kufur. Paling tidak, demikianlah menurut Umar bin al-Khaththab ra. ketika beliau menyatakan: Hijrah itu memisahkan antara kebenaran dan kebatilan. (HR Ibn Hajar).
Kedua: tonggak berdirinya Daulah Islamiyah (Negara Islam) untuk pertama kalinya. Dalam hal ini, para ulama dan sejarahwan Islam telah sepakat bahwa Madinah setelah Hijrah Nabi saw. telah berubah dari sekadar sebuah kota menjadi sebuah negara Islam; bahkan dengan struktur yang—menurut cendekiawan Barat, Robert N. Bellah—terlalu modern untuk ukuran zamannya. Saat itu, Muhammad Rasulullah saw. sendiri yang menjabat sebagai kepala negaranya.
Ketiga: awal kebangkitan Islam dan kaum Muslim yang pertama kalinya, setelah selama 13 tahun sejak kelahirannya, Islam dan kaum Muslim terus dikucilkan dan ditindas secara zalim oleh orang-orang kafir Makkah. Demikianlah sebagaimana pernah diisyarakatkan oleh Aisyah ra.:
«كَانَ الْمُؤْمِنُونَ يَفِرُّ أَحَدُهُمْ بِدِينِهِ إِلَى اللهِ تَعَالَى وَإِلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَخَافَةَ أَنْ يُفْتَنَ عَلَيْهِ فَأَمَّا الْيَوْمَ فَقَدْ أَظْهَرَ اللهُ اْلإِسْلاَمَ وَالْيَوْمَ يَعْبُدُ رَبَّهُ حَيْثُ شَاءَ»
Dulu ada orang Mukmin yang lari membawa agamanya kepada Allah dan Rasul-Nya karena takut difitnah. Adapun sekarang (setelah Hijrah, red.) Allah SWT benar-benar telah memenangkan Islam, dan seorang Mukmin dapat beribadah kepada Allah SWT sesuka dia. (HR al-Bukhari).
Kewajiban Berhijrah
Kewajiban berhijrah di jalan Allah dan balasannyaQuran, Surah An-Nisaa, Ayat 97

 Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri[342], (kepada mereka) malaikat bertanya : "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?." Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)." Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?." Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, [QS An Nisa`: 97]
[342]. Yang dimaksud dengan orang yang menganiaya diri sendiri di sini, ialah orang-orang muslimin Mekah yang tidak mau hijrah bersama Nabi sedangkan mereka sanggup. Mereka ditindas dan dipaksa oleh orang-orang kafir ikut bersama mereka pergi ke perang Badar; akhirnya di antara mereka ada yang terbunuh dalam peperangan itu. 

Hijrah  tidak saja berarti mengabaikan kepetingan, mengorbankan harta dan menyelamatkan jiwanya saja, dengan semboyan bahwa dirinya telah dihalalkan dan haknya terampas, Sebab seorang yang berhijrah bisa jadi binasa di awal perjalanan atau diakhirya. Demikian juga ia akan berjalan menuju masa depan yang masih tak menentu, dia tidak tahu ketidakstabilan dan kesedihan apa yang nantinya menjadi dampak darinya. Kaum muslimin mulai berhijrah, sementara mereka telah mengetahui semua resiko. Di lain pihak, kaum musyrikin berupaya menghalag-halangi keberangkatan mereka sebab sudah merasakan apa implikasinya kelak. [3]Hijrah disini tidak main main karena balasan bagi yang berhijrah pun sangat besar, seperti tercatum pada Al Quran :
Quran, Surah An-Nisaa, Ayat 100
Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [QS An Nisa`: 100]

Mewujudkan Makna Hijrah Hai Ini

Dengan diwajibkannya Hijrah tentunya setiap muslim mau tidak mau harus melaksanakannya. Lalu bagaimana melaksanakannya dalam kondisi saat ini ? Dalam konteks zaman modern ini, dimana yang mendominasi masyarakat ialah pemikiran sekular, dan hukum sekular yang bersumber dari ideologi sekularisme, yaitu ideologi yang menyigkirkan peran agama dari kehidupan baik bernegara maupun bermasyarakat. Karena itu kita dituntut harus melasanakan Hijrah, dari pemikiran tersebut, menuju pemikiran Islami dan ideologi Islam, yang bersumber pada Al-Quran dan As-Sunnah. Selain itu hati dan perbuatan kita harus berhijrah dari perbuatan musyrik menuju Tauhid. tancapkan aqidah Tauhid dalam hati kita, yang direalisasikan dengan perbuatan men-Tauhid-kan Alloh SWT, yakni meyakini dan menjadikan Alloh sebagai satu-satunya Rabb, yang mengidupkan, mematikan, memelihara; sebagai satu-satunya Malik, yang menguasai, mengatur; dan sebagai satu-satunya Illah, yang ditaati, disembah, dipatuhi dan dicintai.
Hijrah ini sangatlah berat, karena di samping harus memiliki kesabaran, juga dituntut memiliki ketahanan ideologi dan keyakinan agar tidak mudah terbujuk rayuan dan godaan dari kenikmatan dunia yang fana, dan memiliki ketangguhan diri dan tidak mudah lentur saat mendapatkan cobaan dan siksaan yang setiap saat menghadangnya, berusaha membedakan diri walaupun mereka hidup di tengah-tengah mereka, karena ciri khas seorang muslim sejati “yakhtalitun walaakin yatamayyazun” (bercampur baur namun memiliki ciri khas tersendiri/tidak terkontaminasi).
Semoga kita dapat berhijrah menuju apa yang diridhoi Alloh, dan tetap istiqomah konsisten berada dalam tempat yang Alloh ridhoi. 
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS. Al-Baqarah : 218]


[1] http://www.konsultasisyariah.com/sejarah-penetapan-kalender-hijriah/

[2] http://www.eramuslim.com/suara-kita/pemuda-mahasiswa/arief-b-iskandar-redaktur-al-wa-ie-mewujudkan-kembali-makna-hakiki-hijrah-nabi.htm
[3] Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah Sejarah Hidup Nabi Muhammad, Unnul Quro 2012 hal .290 
sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com