Tanggal 25 Oktober 2014 ini merupakan hari dimana tahun hijriyah berganti menjadi tahun 1436 Hijriyah, lebih tepatnya pergantian tahun ini terjadi kemain sore pada waktu matahari terbenam. Tidak seperti ketika datang Tahun Baru Masehi yang disambut dengan penuh semarak oleh masyarakat, Tahun Baru Hijriyah disikapi oleh kaum Muslim dengan ‘dingin-dingin’ saja. Memang, Tahun Baru Hijriyah tidak perlu disambut dengan kemeriahan pesta. Namun demikian, sangat penting jika Tahun Baru Hijriyah dijadikan sebagai momentum untuk merenungkan kembali kondisi masyarakat kita saat ini. Lalu mengapa Tahun Hijiyah ini begitu penting? ada peristiwa apa yang menandai lahirnya Tahun Hijryah ini?......
Sejarah
Di zaman Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr, kaum muslimin belum mengenal pergantian tahun hijriyah. Sehingga ketika itu, tidak ada istilah tahun baru hijriyah. Mereka menggunakan kalender qamariyah sebagai acuan kegiatan dan pencatatan sejarah. Mengikuti kalender yang sudah digunakan oleh masyarakat arab sejak sebelum islam. Hanya saja, di zaman mereka belum ada angka tahun dan acuan tahun. Angka Tahun sebagai acuan baru ditetapkan oleh Umar bin Khattab 6 tahun setelah Rosululloh wafat. Pada saat itu Umar bin Khattab mengumpulkan kaum muhajirin dan anshar radhiyallahu ‘anhum, beliau bertanya: “Mulai kapan kita menulis tahun.” Kemudian Ali bin Abi Thalib mengusulkan: “Kita tetapkan sejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamhijrah, meninggalkan negeri syirik.” Maksud Ali adalah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Kemudian Umar menetapkan tahun peristiwa terjadinya Hijrah itu sebagai tahun pertama (al-Mustadrak 4287 dan dishahihkan oleh adz-Dzahabi).[1]
Jadi, penetapan permulaan Tahun Hijriyah ini dilatarbelakangi oleh peristiwa Hijrahnya nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Mekkah ke Yatsrib (Madinah). Seberapa penting peristiwa Hijrah ini? dan pelajaran apa yang dapat kita ambil?......
Makna Hijrah[2]
Secara bahasa, hijrah berarti berpindah tempat. Adapun secara syar‘i, para fukaha mendefinisikan hijrah sebagai: keluar dari darul kufur menuju Darul Islam. (An-Nabhani, Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, II/276). Darul Islam dalam definisi ini adalah suatu wilayah (negara) yang menerapkan syariat Islam secara total dalam segala aspek kehidupan dan yang keamanannya berada di tangan kaum Muslim.
Sebaliknya, darul kufur adalah wilayah (negara) yang tidak menerapkan syariat Islam dan keamanannya bukan di tangan kaum Muslim, sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam. Definisi hijrah semacam ini diambil dari fakta Hijrah Nabi saw. sendiri dari Makkah (yang saat itu merupakan darul kufur) ke Madinah (yang kemudian menjadi Darul Islam).
Peristiwa Hijrah, paling tidak, memberikan makna sebagai berikut:
Pertama: pemisah antara kebenaran dan kebatilan; antara Islam dan kekufuran; serta antara Darul Islam dan darul kufur. Paling tidak, demikianlah menurut Umar bin al-Khaththab ra. ketika beliau menyatakan: Hijrah itu memisahkan antara kebenaran dan kebatilan. (HR Ibn Hajar).
Kedua: tonggak berdirinya Daulah Islamiyah (Negara Islam) untuk pertama kalinya. Dalam hal ini, para ulama dan sejarahwan Islam telah sepakat bahwa Madinah setelah Hijrah Nabi saw. telah berubah dari sekadar sebuah kota menjadi sebuah negara Islam; bahkan dengan struktur yang—menurut cendekiawan Barat, Robert N. Bellah—terlalu modern untuk ukuran zamannya. Saat itu, Muhammad Rasulullah saw. sendiri yang menjabat sebagai kepala negaranya.
Ketiga: awal kebangkitan Islam dan kaum Muslim yang pertama kalinya, setelah selama 13 tahun sejak kelahirannya, Islam dan kaum Muslim terus dikucilkan dan ditindas secara zalim oleh orang-orang kafir Makkah. Demikianlah sebagaimana pernah diisyarakatkan oleh Aisyah ra.:
«كَانَ الْمُؤْمِنُونَ يَفِرُّ أَحَدُهُمْ بِدِينِهِ إِلَى اللهِ تَعَالَى وَإِلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَخَافَةَ أَنْ يُفْتَنَ عَلَيْهِ فَأَمَّا الْيَوْمَ فَقَدْ أَظْهَرَ اللهُ اْلإِسْلاَمَ وَالْيَوْمَ يَعْبُدُ رَبَّهُ حَيْثُ شَاءَ»
Dulu ada orang Mukmin yang lari membawa agamanya kepada Allah dan Rasul-Nya karena takut difitnah. Adapun sekarang (setelah Hijrah, red.) Allah SWT benar-benar telah memenangkan Islam, dan seorang Mukmin dapat beribadah kepada Allah SWT sesuka dia. (HR al-Bukhari).
Kewajiban Berhijrah
| Kewajiban berhijrah di jalan Allah dan balasannya |
| [342]. Yang dimaksud dengan orang yang
menganiaya diri sendiri di sini, ialah orang-orang muslimin Mekah yang
tidak mau hijrah
bersama Nabi sedangkan mereka sanggup. Mereka ditindas dan dipaksa oleh
orang-orang kafir ikut bersama mereka pergi ke perang Badar; akhirnya di antara
mereka ada yang terbunuh dalam peperangan itu. Hijrah tidak saja berarti mengabaikan kepetingan, mengorbankan harta dan menyelamatkan jiwanya saja, dengan semboyan bahwa dirinya telah dihalalkan dan haknya terampas, Sebab seorang yang berhijrah bisa jadi binasa di awal perjalanan atau diakhirya. Demikian juga ia akan berjalan menuju masa depan yang masih tak menentu, dia tidak tahu ketidakstabilan dan kesedihan apa yang nantinya menjadi dampak darinya. Kaum muslimin mulai berhijrah, sementara mereka telah mengetahui semua resiko. Di lain pihak, kaum musyrikin berupaya menghalag-halangi keberangkatan mereka sebab sudah merasakan apa implikasinya kelak. [3]Hijrah disini tidak main main karena balasan bagi yang berhijrah pun sangat besar, seperti tercatum pada Al Quran : Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [QS An Nisa`: 100] Mewujudkan Makna Hijrah Hai Ini Dengan diwajibkannya Hijrah tentunya setiap muslim mau tidak mau harus melaksanakannya. Lalu bagaimana melaksanakannya dalam kondisi saat ini ? Dalam konteks zaman modern ini, dimana yang mendominasi masyarakat ialah pemikiran sekular, dan hukum sekular yang bersumber dari ideologi sekularisme, yaitu ideologi yang menyigkirkan peran agama dari kehidupan baik bernegara maupun bermasyarakat. Karena itu kita dituntut harus melasanakan Hijrah, dari pemikiran tersebut, menuju pemikiran Islami dan ideologi Islam, yang bersumber pada Al-Quran dan As-Sunnah. Selain itu hati dan perbuatan kita harus berhijrah dari perbuatan musyrik menuju Tauhid. tancapkan aqidah Tauhid dalam hati kita, yang direalisasikan dengan perbuatan men-Tauhid-kan Alloh SWT, yakni meyakini dan menjadikan Alloh sebagai satu-satunya Rabb, yang mengidupkan, mematikan, memelihara; sebagai satu-satunya Malik, yang menguasai, mengatur; dan sebagai satu-satunya Illah, yang ditaati, disembah, dipatuhi dan dicintai. Hijrah ini sangatlah berat, karena di samping harus memiliki kesabaran, juga dituntut memiliki ketahanan ideologi dan keyakinan agar tidak mudah terbujuk rayuan dan godaan dari kenikmatan dunia yang fana, dan memiliki ketangguhan diri dan tidak mudah lentur saat mendapatkan cobaan dan siksaan yang setiap saat menghadangnya, berusaha membedakan diri walaupun mereka hidup di tengah-tengah mereka, karena ciri khas seorang muslim sejati “yakhtalitun walaakin yatamayyazun” (bercampur baur namun memiliki ciri khas tersendiri/tidak terkontaminasi). Semoga kita dapat berhijrah menuju apa yang diridhoi Alloh, dan tetap istiqomah konsisten berada dalam tempat yang Alloh ridhoi. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS. Al-Baqarah : 218] [1] http://www.konsultasisyariah.com/sejarah-penetapan-kalender-hijriah/ [2] http://www.eramuslim.com/suara-kita/pemuda-mahasiswa/arief-b-iskandar-redaktur-al-wa-ie-mewujudkan-kembali-makna-hakiki-hijrah-nabi.htm [3] Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah Sejarah Hidup Nabi Muhammad, Unnul Quro 2012 hal .290 |







0 komentar:
Posting Komentar